Tag Archive: anugerah


Gereja Para Pendosa

Sinners Church. Gereja Para Pendosa. Adakah judul ini masuk akal? Tidakkah gereja seharusnya gereja adalah kumpulan orang-orang yang dikuduskan? Apa maksud dari tema hari ini?  Saya akan mulai menjelaskannya dengan sebuah pengalaman.

Pendahuluan. Beberapa minggu sebelum saya berangkat studi teologi di SAAT Malang, Pdt. Wendy dan Semu Helen menjelaskan satu kebenaran yang tidak pernah saya duga tentang komunita tempat calon hamba-hamba Tuhan dipersiapkan menjadi penginjil dan pendeta.

Mereka kira-kira berkata demikian, “Liang, jangan pernah berharap bahwa di SAAT nanti kamu akan bertemu dan berkumpul dengan sekumpulan malaikat. Jangan pernah membayangkan bahwa di seminari, di tempat dimana calon hamba-hamba Tuhan dibentuk, semua orang akan baik, sabar, lemah lembut, pengertian, murah hati, dan sebagainya.  Jika komunita seperti itu yang kamu harapkan, kau akan kecewa.  Jangan pernah heran jika nanti disana kau akan bertemu dengan orang-orang yang kasar, ketus, pemarah, kakak tingkat yang otoriter, yang hanya pintar ngomongin orang.  Kau akan bertemu dengan orang yang tidak jujur, manipulatif, penjilat, suka cari muka, bermuka dua. Jangan juga heran jika bertemu dengan teman yang iri hati, sombong, dan sebagainya.  Seseorang mungkin akan menjatuhkan kamu. Seorang teman bisa menusukmu dari belakang. Sebab sesungguhnya di sana sama sekali bukan sarang malaikat. Jangan kaget sewaktu kau bertemu dengan orang-orang seperti itu disana!”

Mereka bilang, “Jangan kaget,” tetapi saya kaget.  Kaget karena mereka mengatakan hal semacam itu. Kaget karena bagi saya itu tidak masuk akal. Tidak banyak nasihat mereka yang masih saya ingat, tetapi yang satu ini sangat berkesan bagi saya.

Dua bulan pertama di seminari, saya bersyukur karena sama sekali tidak bertemu dengan orang seperti yang mereka katakan. Saya pikir, mereka mungkin salah. Atau, jamannya sudah beda dengan waktu mereka kuliah dulu. Semua teman dan kakak tingkat terlihat sangat hangat, sabar dan baik hati.  Saya merasa lega. Tetapi, tidak untuk waktu yang lama.

Bulan madu selama dua bulan di “surga” itu berubah setelah semua kakak tingkat atau senior pulang ke kampus.  Hari-hari berikutnya selama empat tahun, menolong saya menyadari bahwa tidak ada orang kudus di dunia. Tidak juga termasuk para penginjil dan pendeta—apalagi hanya calon hamba Tuhan di seminari. Baca lebih lanjut

Damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.
(Yohanes 14:27a)

Tuhan Yesus berkata dengan jelas sekali, “Apa yang kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu…” Apa yang Tuhan berikan yang tidak dapat diberikan oleh dunia?

Philip Yancey menceritakan sebuah pertanyaan Gordon McDonald dalam sebuah percakapan dengannya: Hal apakah yang dapat diberikan gereja [kekristenan] yang tidak dapat diperoleh dunia di manapun juga?

Kita tidak perlu harus menjadi seorang Kristen untuk dapat melakukan aksi soal membantu orang-orang yang kekurangan, pemulung, pengemis, atau pun anak jalanan. Tidak harus jadi orang Kristen untuk memiliki visi membangun sebuah rumah singgah untuk orang-orang membutuhkan. Tidak harus jadi orang Kristen untuk dapat berguna bagi kemajuan bangsa dan negara. Tidak harus jadi orang Kristen untuk dapat berdoa bagi banyak orang. Tidak harus jadi orang Kristen untuk dapat lebih mengasihi orang tua dan keluarga. Tidak harus beragama Kristen untuk dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Bahkan, kenyataannya, kita dapat dengan mudah menemukan ada yang banyak orang di dalam dunia ini yang lebih saleh, baik, dan dermawan daripada orang Kristen.
Ada banyak guru, agama, dan tradisi-tradisi yang dapat memberikan ajaran moral yang baik. Jadi, tidak harus menjadi Kristen untuk menjadi orang yang baik.

Lalu… hal apakah yang dapat diberikan oleh kekristenan yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia?

Grace. Kasih karunia. Penerimaan tanpa syarat. Yang memerdekakan kita. Yang membawa damai sejahtera. Dan itulah tepatnya Bayi Yesus bawa dalam kehadiranNya di natal pertama.

Sebuah cerita karya Ernest Hemingway menyingkapkan kebenaran tentang anugerah yang kita rindukan.

Seorang ayah Spanyol memutuskan berdamai dengan putranya yang lari ke Madrid. Dengan penuh rasa sesal, sang ayah memasang iklan di surat kabar El Liberal, “Paco temui papa di Hotel Montana hari Selasa tengah hari. Semua sudah dimaafkan. Papa.”

Untuk kita ketahui, Paco adalah nama yang sangat umum di Spanyol. Mungkin serupa dengan nama Budi di Indonesia. Di gereja kita saja setidaknya ada tiga rekan bernama Budi. Nah, ketika sang ayah yang sangat merindukan putranya itu datang ke halaman hotel Selasa siang yang dinanti-nanti itu, ia tidak pernah menduga apa yang akan ditemuinya…. sekitar delapan ratus pemuda bernama Paco menunggu ayah mereka. 800 Paco juga ternyata juga sangat membutuhkan pengampunan ayah mereka.

Bayangkan bagaimana masing-masing Paco itu suatu hari membuka surat kabar dan membaca kalimat itu, “Paco… semua sudah dimaafkan. Papa.” Betapa hati mereka terguncang dipenuhi dengan pengharapan yang besar bahwa iklan itu benar ditujukan bagi mereka. Betapa mereka mengharapkan bahwa papa merekalah yang menulis iklan itu. Betapa hati mereka merindukan pengampunan, penerimaan kembali. Betapa dunia membutuhkan anugerah.

Bayangkan pula betapa kagetnya masing-masing Paco ini menemukan 800 Paco lain yang menanti di tempat yang sama siang itu. Betapa mata mereka terus mencari berkeliling mencari ayah yang mereka rindukan. Dan betapa sakitnya mengetahui bahwa hanya satu Paco yang beroleh anugerah itu, sementara-katakan saja-799 Paco lain harus pulang dengan kekecewaan yang mendalam dan terus mengharapkan pengampunan.

Hemingway sangat tahu tentang dunia tanpa kasih karunia. Orangtuanya sangat taat beragama. Kakek dan neneknya kuliah di Wheaton College yang sangat rohani. Karena itulah mereka membenci pergaulan bebas Hemingway. Kehidupan seperti itu dianggap hina dan penuh dosa oleh keluarganya sendiri. Yang lebih pahit, adalah kenyataan bahwa tidak lama berselang, ibunya pun tidak mau lagi bertemu dengannya.

Ketika suatu kali Hemingway berulang tahun, ibunya mengirimkan kue… bersama dengan sepucuk pistol yang digunakan ayahnya untuk bunuh diri.

Pada ulang tahunnya yang lain, ibunya menulis surat yang menggambarkan kehidupan seorang ibu seumpama bank, “Setiap anak yang lahir dari ibunya memasuki dunia dengan rekening besar dan berlimpah di bank (ibunya), yang tampaknya tidak pernah habis.” Anak itu terus menarik uang tetapi tidak pernah memasukkan uang pada tahun-tahun pertamanya. Belakangan, setelah anak itu dewasa, adalah menjadi tanggung jawab si anak untuk mengisi kembali tabungan yang ia tarik. Ibunda Hemingway jelas memintanya untuk membayar semua jerih lelah dan uang yang telah dihabiskan untuk membesarkannya.

Bahkan sang ibu melanjutkan pressure-nya dan mengharuskan Hemingway juga berusaha untuk membayar keselamatan yang telah Kristus berikan sebagai Juruselamatnya. “Jika engkau percaya Yesus, engkau tidak boleh mengabaikan tugasmu pada Allah dan Juruselamatmu.”

Tidak heran, jika Hemingway tidak pernah bisa menghapuskan kebenciannya pada ibunya dan pada Juruselamatnya. Ia tidak pernah merasakan anugerah. Ia harus membayar untuk segala sesuatu yang telah ia terima. Tidak seorang pun yang cukup tulus untuk menolongnya tanpa pamrih.

Inilah dunia tanpa kasih karunia. Inilah alasan mengapa dunia membutuhkan natal? Karena anugerah atau kasih karunia bermula dalam sejarah dengan kelahiran bayi Natal.

Kasih yang Melampaui Akal

[Khotbah ini mengadopsi ide buku “Love Beyond Reasons” oleh John Ortberg]

Lukas 2:11 | Yohanes 3:16

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Tyra Banks, seorang super model dunia yang sangat populer pada masa kini, beberapa waktu yang lalu “mencicipi” kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sebagai super model, ia terbiasa untuk hidup dengan penampilan yang glamour, seksi dan kurus sebagaimana layaknya model dunia; kemana pun ia melangkah, begitu banyak orang yang mengenalinya dan mengaguminya. Karena itulah, suatu hari, ia mencoba melalukan sesuatu yang “baru”.

Pagi-pagi benar Banks menghabiskan waktu beberapa jam untuk mengenakan pakaian khusus yang biasa digunakan dalam film-film untuk mengubah penampilan seseorang menjadi sangat sangat gendut. Ia memakai beberapa kilogram daging palsu, merias kontur wajahnya menjadi terlihat gemuk sesuai dengan porsi tubuhnya. Lengkap dengan tambahan gelambir leher palsu yang membuatnya benar-benar luar biasa jauh dari ukuran seorang super model dunia. Setelah semua persiapan selesai, ia berhasil terlihat persis seperti seorang wanita yang mengalami obesitas dengan berat sekitar 350 pounds (sekitar 175 kg)!

Banks mengenakan semua perlengkapan tersebut sebagai bagian dari acara talkshow yang dipandunya. Beberapa kamera secara sembunyi-sembunyi akan merekam bagaimana masyarakat bereaksi terhadap orang-orang yang sangat sangat gemuk. Kelebihan berat badan secara ekstrim. Obesitas. Banks melakukannya untuk mencoba merasakan apa yang dirasakan mereka-mereka yang mengalami masalah obesitas ini dalam masyarakat.

“Orang banyak memandang saya dengan pandangan yang mengerikan dan tertawa dengan keras di depan saya—itulah yang paling mengejutkan saya,” kata Banks. “Dan persis ketika saya masuk ke sebuah toko ketika ingin berbelanja, saya jelas sekali mendengar seseorang tertawa mengejek. Seketika itu juga! Saya merasa sangat terhina dan terluka.”

Sepanjang hari itu, melalui pengalaman sebagai seorang obese yang menumpang bus umum, berbelanja dan kencan buta; Banks menempatkan dirinya sendiri sebagai bagian dari begitu banyak orang yang obese dan mengalami perasaan terluka dan penolakan yang menyakitkan. “Tidak ada excuse (alasan) untuk bersikap kasar. Tidak ada alasan untuk bersikap menganggap rendah orang lain yang obese. Hal itu sangat menyakitkan. Itulah yang saya alami.” Tyra Banks jelas tidak ingin lagi merasakan pengalaman seperti itu.

Apa yang Banks lakukan dapat dikatakan “sedikit” serupa dengan apa yang Kristus lakukan. Ia berangkat dari wilayah mewah dan nyamannya untuk merasakan kepahitan orang lain. Ia mencoba sedikit mencicipi kepahitan yang tidak ia inginkan lagi di tengah kekaguman dan penghargaan banyak orang padanya selama ini. Namun, Banks hanya sedikit mirip dengan inkarnasi Kristus ke dalam dunia, karena Banks jelas melakukannya karena uang yang ia terima sebagai upah; sebaliknya, bayi Yesus lahir ke dalam dunia justru untuk memberi. Sementara Tyra sangat terpukul dan tidak dapat menikmatinya apa yang dilakukannya, Kristus justru sangat menikmati kehadirannya ke dunia sesulit dan seberat apapun karena kasih!

Sesungguhnya apa baiknya kita, manusia, sehingga Tuhan begitu peduli dan sampai harus begitu susah payah datang ke dunia untuk menyelamatkan kita? Apa hebatnya kita? Padahal menurut hitungan logika saja, kita sama sekali tidak layak untuk diperhatikan. Mengapa Tuhan begitu peduli?

Baca lebih lanjut