Tag Archive: Naskah Khotbah


Minggu pertama di bulan Desember. Entah dengan anda, tetapi saya merasakan ada kehangatan yang menyeruak masuk dalam jiwa.  Sebentar lagi natal.  Semua aktifitas natal dan akhir tahun yang sibuk seperti biasa membuat rasa yang berbeda.

Atmosfir yang selalu dinantikan sejak kecil. Suasana kekeluargaan yang berbeda. Reunian bersama teman dan kerabat. Pohon natal berbalut pernak-pernik meriah.  Lagu dan nada-nada natal yang selalu terasa nyaman.  Interior gereja yang berbeda. Mimbar yang terkesan kaku dikalahkan oleh pengaruh pohon dan dekorasi yang santai dan meneduhkan.

Saya kira ini akan menjadi natal yang indah. Tapi, saya merindukan sungguh ini bukan sekadar menjadi natal yang lain. Bukan natal yang sekadar terasa “indah” biasa dengan segala aksesorisnya. Bukan pula sekadar kemeriahan ibadah dan perayaan natal di gereja. Bukan karena seluruh anggota keluarga yang berkumpul. Tetapi, natal yang sekali lagi membawa pengingatan akan kasih Tuhan yang luar biasa.

Ini yang tidak mudah didapatkan. Kesukaan yang tidak pudar setelah 25 Desember berlalu. Kesegaran setelah 1 Januari lewat. Sulit menemukan kesenangan yang bertahan lama.  Padahal kesukacitaan inilah yang paling diimpikan.

Setelah puncak kemeriahan di malam natal (24) dan ibadah natal yang khusuk (25), seringkali tiba-tiba saja semua kesenangan terasa menguap pergi. Kebanyakan kesenangan natal kita segera pudar bahkan sebelum tengah malam 26 Desember datang.  Bahkan malam tahun baru pun terasa sebagai kesenangan “yang  lain”.  Itu paket yang berbeda dari natal yang terasa “rohani”.  Tidak heran hari pertama bekerja di awal tahun seringkali terasa sangat berat dilalui.  Selain I don’t like Monday, rupa ada juga I don’t like January.

Mengapa ya semua kesukaan natal mudah sekali menguap?

Saya pikir itu terjadi karena alasan yang sederhana, yaitu karena memang kita tanpa sadar lebih banyak menggantungkan alasan kesukacitaan kita pada pesta, perayaan, suasana, dan “atmosfir” yang umum terasa pada saat natal.  Kita terlalu menggantungkan harapan kita untuk bersukacita pada event, bukan pada Pribadi Tuhan yang hadir.  Kebanyakan orang, tanpa sadar, lebih menggantungkan alasan kesenangan kita pada lampu natal, pohon natal, dekorasi, dan kado–sementara kita semakin kurang memikirkan arti kehadiran Tuhan melalui natal. Tidak heran ketika pohon natal mulai disimpan, lampu-lampu hias diturunkan, drama natal yang haru berakhir, semua alasan kesukacitaan kita pun seakan direnggut untuk disimpan. Ditutup dengan kain dan plastik. Dimasukkan ke dalam gudang.  Untuk dibuka kembali satu tahun kemudian.

Betapa bodohnya kita selama ini yang tanpa sadar melewati natal hanya sekadar seperti itu.

Saya berharap saya tidak sekadar melewatkan natal yang lain akhir tahun ini. Saya ingin menikmati natal sebagai “natal” dalam alasan yang sebenarnya. Natal ini ada bukan sekadar untuk memasang pohon, lagu, dekorasi, dan aksesoris yang menyenangkan sejenak. Tetapi natal ini ada untuk mengingatkan kembali betapa beruntungnya saya memiliki Tuhan yang begitu mengasihi saya.

Lalu, apa yang saya lakukan untuk dapat menikmati natal dengan keindahan yang bertahan lama?

Inilah yang saya lakukan. Saya memulai natal lebih cepat. Saya bangun setiap pagi berdoa bersyukur untuk kehadiran Tuhan dalam kehidupan saya sejak minggu terakhir November.  Berterimakasih dan mengucap syukur untuk natal sebelum pohon, lampu dan hiasan mulai bergelantungan di rumah dan di gereja setidaknya menolong saya lebih fokus bersukacita karena Tuhan dalam natal, bukan alasan yang lain.

This works for me!  Hal ini cukup berhasil baik buat saya.  Saya kira adalah sangat tidak merugikan jika anda pun mencobanya. 

Katakan setiap hari dengan penuh kesungguhan dalam doa-doa anda setiap hari sepanjang Desember ini, “Selamat ulang tahun, Tuhan Yesus.”

Jason Grisham seharusnya tidak lagi hidup. Dalam sebuah upayanya mengukur sebuah menara listrik, pemuda berusia 22 tahun itu tersetrum hebat yang biasanya berakibat fatal. Dalam perjalanan memanjatnya ke ujung menara, listrik sekuat 69000 volts menghantam tubuhnya jatuh kembali ke tanah. Walaupun luka cukup parah, Ia dapat bertahan hidup. Untunglah.

Mengapa pemuda itu sampai terlibat masalah begitu buruk? Sesungguhnya itu bukanlah kecelakaan. Sebuah pagar setinggi dua meter lebih ada mengelilingi menara listrik tersebut. Di atas pagar juga sudah dipasangi kawat berduri. Di pagar itu juga dituliskan besar-besar “Danger/High Voltage”.  Grisham celaka karena Ia mengabaikan peringatan yang sangat penting.

Hari itu, Jason Grisham baru belajar arti penting ketaatan. Setiap pesan dari otoritas yang benar sesungguhnya tidak dapat ditawar.

Ketidaktaatan, kekerasan hati, keinginan yang tidak terkendali… memimpin kepada kehancuran. Ketaatan sangat penting dalam hidup.

Dalam kisah natal, Yusuf tercatat berhasil sebagai ayah dari Anak Allah dimulai dari ketaatannya akan panggilan Tuhan. Hari ini dari keteladanan Yusuf, kita akan belajar bahwa…

Ketaatan pada kehendak Allah akan memimpin orang percaya untuk menikmati kekayaan kemuliaan surgawi

Jika bicara jujur, tidak seorang pun menginginkan perubahan hidup yang tidak terkendali. Kita tidak suka hidup kita dipukul oleh peristiwa yang menghancurkan impian kita.

Kita tidak suka bangkrut setelah menikmati segala kemewahan. Kita tidak suka dipaksa untuk menjadi orang yang tidak kita sukai. Kita tidak suka terlibat dalam situasi yang tidak dapat kita kuasai.

Tidak mudah hidup sebagai Yusuf. Pemuda rata-rata tanpa keahlian yang memungkinkannya menjadi konglomerat.

Alkitab tidak pernah menuliskan satu kata langsung pun yang diucapkan dari mulut bibir Yusuf.

Ketika Maria mendengar panggilan Tuhan, Ia masih sempat berbicara kepada malaikat Tuhan. Maria masih bertanya, dan pada akhirnya berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk. 1:38).

Empat kali Yusuf menerima pesan dari Tuhan dan ia melakukannya segera.

Pertama – 1:20-24

Yusuf mempertimbangkan untuk menceraikan Maria diam-diam agar ia tidak hidup malu dengan aibnya, namun malaikat Tuhan menyuruhnya untuk tidak takut menikahi Maria dan memberi nama Yesus…

Yusuf segera melakukannya setelah bangun tidur.

Kedua – 2:13-15

Yusuf menerima pesan untuk lari ke Mesir yang jauh dan belum dikenalnya untuk melindungi Maria dan Yesus kecil…

Malam itu juga Yusuf membangunkan Maria dan membawa serta bayi Yesus berangkat ke Mesir.

Ketiga – 2:19-21

Herodes mati, Yusuf menerima pesan dalam mimpi untuk kembali ke tanah Israel.

Setelah terbangun Yusuf segera membawa Maria dan Yesus kecil kembali ke Israel.

Keempat – 2:22

Yusuf mendengar Arkhelaus menggantikan Herodes, ayahnya, berkuasa. Yusuf takut, malaikat Tuhan menasihatkannya untuk ke Nazaret.

Yusuf langsung berangkat tanpa bertanya ke Nazaret sehingga genaplah nubuat Yesus akan disebut sebagai orang Nazaret.

 

Empat pesan. Empat panggilan yang spesifik. Namun keempatnya hanya melalui mimpi. Namun demikian… Yusuf tidak meragukan perkataan malaikat Tuhan tersebut.

Ia selalu bersegera mengikuti kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan dirinya. Ia tidak memusingkan impian-impian pribadinya.

Ia berangkat begitu saja untuk hidup mengikuti kehendak Tuhan.

Ia tahu hidupnya bukanlah miliknya sendiri. Hidupnya adalah milik Allah yang menciptakannya.

Hidup tidaklah selalu soal apa yang kita inginkan. Tetapi… apa yang Tuhan kehendaki.

Disinilah ketaatan mendapatkan nilai berharganya.

Yusuf dapat saja berkata, “Ach hanya mimpi…” dan mengabaikan pesan itu. Masuk akal jika ia tidak terlalu ambil pusing dengan mimpi aneh itu. Normal jika menganggap mimpi itu sebagai bunga tidur biasa. Adalah biasa rasanya jika kita tidak ambil pusing dengan mimpi.

Disinilah justru Yusuf menjadi luar biasa… karena ia taat tanpa membuat alasan untuk dirinya sendiri.

Ketika Tuhan memanggil kita. Ada nada urgensi yang mengiringi panggilan tersebut. Dan kita perlu untuk bersegera melakukan kehendak Tuhan dalam hidup kita.

Yusuf memiliki ketaatan yang mengagumkan. Tuhan memanggilnya melakukan sesuatu, dan ia bersegera melakukannya.

Ketaatan yang tidak ragu. Kepatuhan yang tidak mempertanyakan.

Dunia membutuhkan ketaatan Yusuf untuk bertahan. Dunia sementara ini sedang menuruni jurang curam ke lembah kehancuran.

Terlalu banyak alasan untuk melakukan ketidakbenaran.

Terlalu banyak excuse menghadapi kebenaran.

Saya percaya bahwa dunia bukan tidak tahu apa yang benar dan salah. Saya pikir dunia tahu apa yang sepantasnya dilakukan dan apa yang sepatutnya dihindari. Saya percaya dunia masih memiliki ruang yang memikirkan moralitas.

Masalahnya bukan dunia tidak punya nurani. Namun dunia lebih suka berkompromi dengan standar moral benar/salah untuk membenarkan diri melakukan dosa.

Ketidaktaatan adalah jalan yang dunia pilih sebagai kesempatan untuk menikmati dosa.

Kita membutuhkan ketaatan seperti Yusuf untuk melanjutkan hidup berhasil di dalam kasih karunia Allah.

Lukas 1:26-38

Sekitar sebulan yang lalu, ada sebuah kisah yang cukup mengejutkan dari California, Amerika Serikat. Di sana ada seseorang yang melihat bagaimana patung bunda maria menangis. Patung Maria itu meneteskan air mata dari lekuk pahatan matanya. Hal itu begitu cepat menyebar, dan tiba-tiba saja banyak orang berdatangan ke sekitar patung Maria itu untuk melihatnya, sebagian yang lain bahwa berdoa, bersujud, dan ada yang berusaha memegang patung tersebut untuk mengharapkan mukjizat kesembuhan dari sakit penyakit.

Sesungguhnya peristiwa patung bunda Maria menangis seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Di Manado juga pernah ada patung Maria yang dikatakan mengeluarkan air mata. Sekitar sepuluh tahun silam ada juga sebuah rumah di daerah Kramat Raya Jakarta tiba-tiba menjadi ramai dikunjungi orang banyak karena kabarnya ada patung Maria yang meneteskan air mata dalam rumah itu.

Patung Maria bukan sekali dua kali menarik perhatian media massa seperti ini. Fenomena ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari pemahaman bahwa Maria adalah tokoh pribadi yang istimewa bagi orang kristiani. Maria, Ibu Yesus, adalah pribadi yang sangat terkenal dalam dunia kekristenan. Bunda Maria dikenal sebagai pribadi yang terhitung istimewa karena ia dipanggil oleh Tuhan untuk melahirkan bayi Yesus, Anak Allah. Karena itulah orang Katolik Roma bahkan begitu meninggikan Maria sebagai Bunda Suci yang sangat dipuja.

Namun sesungguhnya jika kita membaca baik-baik firman Tuhan, kita akan menemukan jelas sekalipun Maria istimewa karena menjadi ibunda dari Yesus, ia sesungguhnya adalah wanita biasa, seperti wanita kebanyakan pada jamannya.

Maria adalah seorang wanita biasa. Sebagai pribadi, tidak ada yang istimewa dari dirinya sebelum ia menerima penampakan dan pesan dari Gabriel. Ia bahkan tidak dapat dikatakan wanita yang lebih kudus dibandingkan wanita lain yang hidup sejaman dengannya. Ada banyak orang berpikir bahwa pasti pribadi Maria ini ada “apa-apanya” sehingga Tuhan memilihnya menjadi ibu dari Anak Allah. Orang Roma Katolik menganggapnya tokoh yang kudus dan suci di hadapan Tuhan. Namun, ingatlah Roma 2:23 berkata, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Tidak terkecuali dengan Maria.

Lalu mengapa Tuhan Allah memilihnya?

Jawabnya, adalah hanya karena kasih karunia.

Semata-mata kedaulatan Allah. Tuhan Allah dapat sesuka hati memilih siapa pun yang Ia inginkan untuk menjadi ibu bagi AnakNya. Jika Maria yang dipilih, itu bukan karena kehebatan Maria. Bukan karena kualitas Maria yang berbeda dari yang lainnya. Hanya karena anugerah Tuhan semata.

Panggilan Tuhan bagi Maria merupakan panggilan yang sangat spesifik. Panggilan kasih karunia. Dalam panggilan Maria, Gabriel langsung berkata, “Hai engkau yang dikaruniai!” (Luk. 1:28). Kemudian ditegaskan sekali lagi, dalam ayat 30, “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.”

Gabriel tidak berkeliling dunia dahulu demi mencari wanita yang tepat. Dari surga, ia langsung turun mendapati Maria. Dan langsung memberitahukan kepadaNya apa yang Tuhan kehendaki untuk Maria lakukan. Dan Maria pun menerima karunia itu, ia tunduk taat dan berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (v. 38).

Maria adalah orang yang tahu diri di hadapan Tuhan. Dan karena itulah ia kemudian tunduk taat pada kehendak Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana ia bisa menjadi pribadi yang tahu diri dan taat seperti itu?

Jawabnya sangat sederhana… ia memiliki iman. Ia tidak membiarkan keraguan menguasainya. Ia tidak membiarkan keterbatasan pemahaman duniawinya menghalangi karya Tuhan.

Inilah yang membuat Maria berbeda.

Maria istimewa bukan karena kehebatannya ia dipanggil untuk menjadi bunda Yesus. Namun, ia menjadi istimewa karena ia memiliki iman percaya pada panggilan yang luar biasa “aneh” tersebut, tanpa meragukan.

Iman. Itulah yang membuat Maria berbeda. Hal ini dapat kita perhatikan dari detil kisah yang dituliskan dalam Injil Lukas ini. Perhatikanlah bahwa Maria tidak terkejut ketika Gabriel, malaikat Tuhan, menampakkan diri padanya. Yang mengejutkan Maria adalah perkataan yang didengarnya dari Gabriel (1:29). Ayat tersebut menunjukkan bahwa Maria percaya bahwa itu benar malaikat Tuhan yang datang kepadanya. Dan Maria menghadapi kehadiran tersebut dengan wajar. Apa yang mengejutkannya adalah perkataan yang didengarnya, sehingga ia pun bertanya dalam hati apakah artinya salam itu.

Catatan ini dapat memberikan kepada kita gambaran akan iman Maria. Iman yang buta. Iman yang sesungguhnya. Iman tanpa pertanyaan. Seperti Abraham, sang bapa orang beriman itu, yang berangkat pergi ke tempat yang belum pernah ia kenal tanpa bertanya meragukan Tuhan (Kej. 12).

Dalam Ibrani 11:1 tertulis definisi iman, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Percaya pada apa yang Tuhan janjikan, walaupun kita tidak dapat melihatnya. Percaya bahwa kita akan menerima jawaban doa kita, sekalipun kita belum menerimanya. Itulah iman.

Iman yang butuh melihat jawaban di depan mata, bukanlah iman. Saya pribadi mendefinisikan iman sebagai (adalah) kebutaan terhadap keterbatasan duniawi yang dicelikkan oleh ketidakterbatasan ilahi.  Iman adalah buta. Atau, iman adalah seumpama rabun dekat. Orang yang beriman adalah mereka yang walaupun tidak jelas melihat apa yang ada persis di hadapan mereka, namun tetap berani melangkah karena mampu melihat dengan jelas apa yang ada di ujung jalan.

Karena itulah iman seharusnya tidak mempertanyakan. Sejak Gabriel datang membawa panggilan itu kepadanya, Maria seringkali mengalami hal-hal aneh, kejadian yang tidak biasa, peristiwa yang tidak ia mengerti… namun ia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun meragukan Tuhan. Setidaknya tiga kali dicatatkan Maria menyimpan ketidakmengertiannya dalam hati saja. Ia tidak pernah mengucapkannya keluar dari mulutnya sebagai keraguan. Ia hanya berdiam.

Lu 1:29 Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.

Lu 2:19 Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.

Lu 2:51 Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.

Yoh 19:25 Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. 26 Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” 27 Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.

Maria adalah wanita yang biasa. Ia hanya istri seorang tukang kayu. Ditinggal mati oleh Yusuf menjadi janda sebelum Yesus beranjak dewasa. Sekitar tigapuluh tiga tahun kemudian sejak ia dikunjungi Gabriel, Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, anak yang dikasihinya mati di salib. Hampir tidak ada yang dapat ia berikan bagi Tuhan, kecuali imannya. Dan itulah tepat satu-satunya yang Maria butuhkan yang membuat tetap bertahan pada jalur kehendak Allah dalam hidupnya.

Penutup

Kehidupan kita, setiap orang percaya, seringkali harus kita akui bahwa kita tidak selalu sadar kemana kita melangkah. Kita seringkali kehilangan arah tujuan karena batu-batu besar yang menjadi ujian iman kita menghalangi pandangan kita pada ujung jalan Tuha
n.

Kita menjadi terlalu banyak mempertanyakan Tuhan. Banyak mengeluh. Meragukan janji Tuhan. Dan semuanya membawa kita semakin jauh dan jauh dari kasih karunia Tuhan. Kita mudah sekali berpikir, “Jika Tuhan memang menjanjikan kehidupan yang penuh damai sejahtera, mengapa sekarang aku mengalami hidup sesulit ini? Jika benar aku adalah anak yang dikasihi Tuhan, mengapa aku harus hidup dalam kondisi seperti ini?”

Sakit penyakit. Kesulitan ekonomi. Masalah keluarga. Luka hati. Relasi yang buruk dengan orang lain. Dikhianati. Perasaan diabaikan. Perasaan tidak dikasihi. Permasalahan yang rasanya tidak ada habis-habisnya menggerogoti hidup kita. Pesimisme akan adanya perubahan yang lebih baik dalam hidup.

Semua ini begitu mudah membuat kita kehilangan iman percaya kita. Mudah membuat kita kehilangan arah pandangan pada janji Tuhan yang akan kita terima di ujung jalan.

Kita telah hampir mengakhiri tahun ini. Ada begitu banyak pengalaman yang tidak mengenakkan, bahkan mungkin ada peristiwa tidak ingin kita ingat-ingat karena sedemikian hebatnya penderitaan yang kita alami. Kita ragu akan hidup kita di tahun mendatang. Mungkinkah ada sesuatu yang baik di tahun depan? Kita bertanya-tanya.

Namun, ingatlah selalu akan janji Tuhan. Percayalah! Tuhan Yesus, ia tidak pernah jauh dari kita masing-masing. Apapun yang kita alami, seberapa hebat pun pergumulan yang kita hadapi, Tuhan Yesus ada bagi kita. Ia ada di samping kita setiap saat, dan Ia selalu ada di ujung jalan kehidupan kita demi menantikan waktu dimana Ia akan merangkul kita dalam kesempurnaan damai sejahtera.

Ingatlah keteladanan Maria dengan imannya. Sesungguhnya, tanpa iman, kita tidak memiliki modal yang lain untuk sampai pada kesempurnaan anugerah Tuhan di ujung jalan. Tanpa iman, kita tidak punya apa-apa lagi untuk membuat kita sampai pada penggenapan kemuliaan janji Tuhan. Mari kita menantikan Tuhan dalam keteduhan jiwa yang senantiasa berharap dalam iman.

Baiklah kita menjadi buta terhadap kemustahilan, tidak terpaku pada keterbatasan duniawi semata. Tetapi biarlah kita dicelikkan oleh ketidakterbatasan ilahi Kristus Yesus untuk menolong kehidupan kita. Marilah kita membangun iman kita teguh di dalam Kristus.

Sebuah survey yang diadakan pada tahun 2002 menemukan sebuah fakta yang ironis mengenai perayaan natal dalam media televisi pada masa modern ini. National Religious Broadcasters (Lembaga Penyiaran Tayangan Religius Nasional) di Amerika menganalisa 48.000 jam program seputar natal pada Desember 2002 lalu. Hasilnya adalah bahwa 90% tayangan seputar natal tersebut sama sekali tidak memiliki sangkut paut dengan hal kerohanian. Ada juga sekitar 7% tayangan bernuansa rohani, tetapi sama sekali tidak menyinggung langsung mengenai Tuhan Yesus yang lahir. Sisanya menunjukkan bahwa hanya 3% program televisi bertema natal yang memfokuskan tema pada Tuhan Yesus. Hanya 3%! Betapa ironis. Lalu, dimanakah Tuhan Yesus dalam 97% tayangan bertema natal lainnya? Entahlah.

Yang jelas, telah sangat nyata bahwa sesungguhnya banyak orang merayakan natal hanya sebagai sebuah perayaan, kesenangan, momen nostalgia, masa liburan yang menyenangkan. Natal dilewatkan sebagai sebuah masa bersenang-senang. Banyak orang menikmati natal tanpa Tuhan Yesus. Tanpa merasa perlu tahu atau merenungkan kembali kelahiran bayi natal. Natal tanpa Tuhan Yesus, itulah ironisnya yang banyak terjadi dewasa ini.

Sepanjang sejarah kehidupan orang percaya salah satu pertanyaan yang terus menerus ditanyakan—umumnya oleh orang yang baru percaya—adalah bagaimana seharusnya saya berdoa? Lukas 11:1 mengisahkan kepada kita tentang murid-murid Tuhan Yesus meminta, “Tuhan, ajarlah kami berdoa…”. Dan pada waktu itulah Tuhan Yesus mengajarkan kepada mereka mengucapkan Doa Bapa Kami.

Mari kita memperhatikan Markus 14:36 untuk memperhatikan lebih dalam bagaimana Tuhan Yesus berdoa. Kita akan memperhatikan pola doa Tuhan Yesus yang dapat kita teladani. Kita akan belajar bahwa…

Doa yang sejati sesungguhnya membutuhkan pengenalan yang benar akan Allah

Menurut teladan doa Tuhan Yesus, pengenalan seperti apakah yang perlu kita miliki tentang Allah ketika kita berdoa?

1. Mengenal Allah sebagai Bapa [Ya Abba, ya Bapa]

Sebutan Allah sebagai bapa atau ayah bukanlah suatu sebutan yang umum pada masa Tuhan Yesus. Para ilah atau para dewa yang banyak dikenal pada masa itu merupakan tokoh yang seakan-akan menguasai hidup manusia. Orang-orang tunduk pada para dewa atau ilah mereka sebagai pribadi yang jauh, yang sewaktu-waktu dapat melakukan apa pun dalam hidup mereka. Jika para ilah atau dewa ini tidak senang, maka bencana akan menimpa kehidupan mereka. Karena itulah para penyembah berhala ini terus menerus—secara berkala—harus mempersembahkan sesuatu untuk “menyogok” ilah atau dewa mereka agar tidak memberikan bencana. Para ilah dan dewa menjadi pribadi yang tidak tergapai, tidak terjangkau, jauh, sewenang-wenang, dan harus selalu disenangkan dengan persembahan. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Allah sebagai Bapa. Dan sejak itulah orang-orang percaya memanggil Allah sebagai Abba, Bapa (Rm. 8:15).

Apa pentingnya mengenal Allah sebagai Bapa?

Kita adalah orang-orang yang beruntung memiliki Tuhan sebagai Bapa. Sebagai Bapa, Tuhan bukanlah Tuhan yang otoriter. Ia tidak sewenang-wenang. Ia bukan Tuhan yang suka mendatangkan bencana dalam hidup kita. Ia bukan Allah yang terus menerus harus kita sogok atau suap agar Dia mau mengasihi dan memberikan berkat bagi kita.

Sebagai Bapa, Ia tentu tidak akan memberikan “batu jika kita minta roti”, Ia tidak akan memberikan “ular ketika kita minta ikan” (Mat. 7:9). Kita beruntung memiliki Allah yang mengasihi kita seperti seorang ayah mengasihi anaknya. Mengenal Allah sebagai Bapa menunjukkan bahwa kita tahu bahwa kita memiliki status istimewa sebagai anak yang dikasihi oleh Tuhan.

2. Mengenal Allah sebagai Pribadi yang Berkuasa [tidak ada yang mustahil bagiMu]

Frasa yang kedua ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus percaya bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Allah berkuasa menyembuhkan segala sakit penyakit. Ia sanggup menghentikan gerakan matahari. Tuhan sanggup membelah laut Merah. Allah berkuasa atas segala kemustahilan bagi manusia. Allah sanggup dan Allah mampu melepaskanNya dari ancaman salib tersebut.

Ketika kita berdoa, kita pun perlu sungguh-sungguh percaya bahwa Allah sanggup menolong kita. Dalam keadaan atau tekanan seperti apa pun, Tuhan sanggup. Tidak ada yang mustahil bagi Dia. Dengan iman kepada Allah yang Maha Kuasa inilah kita hidup. Mengapa kadang doa-doa kita terasa hampa? Salah satu penyebabnya adalah karena kita kurang percaya kepada Tuhan. Kita ragu, “mungkinkah Tuhan mampu menolong kesulitan saya yang begitu hebat?” Keraguan inilah yang membuat doa kita terasa hampa. Kosong. Sia-sia. Tanpa sadar, ketika kita tidak percaya atau ragu mau-tidak-mau doa pun menjadi terasa kering.

Karena itulah sebelum kita berdoa, sebelum kita memohon sesuatu kepada Tuhan, tanyakan pada diri kita sendiri, adakah saya percaya bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan? Adakah saya percaya bahwa Tuhan sanggup menolong saya? Jika saudara percaya, lanjutkanlah berdoa! Jika saudara masih ragu, ingatlah Tomas yang tidak percaya akan kebangkitan Tuhan Yesus. Jika saudara sulit percaya, berdoalah sederhana, “Tuhan, berikanlah iman yang teguh supaya aku boleh percaya bahwa Engkau berkuasa atas segala kemustahilan yang kupikirkan.” Baru kemudian, berdoalah.

Mengenal Allah sebagai Pribadi yang Berkuasa menolong kita memiliki iman percaya yang kuat akan Tuhan.

3. Mengenal Allah sebagai Pribadi yang mendengar segala permohonan [ambillah cawan ini daripadaKu]

Cawan pada masa itu merupakan simbol pergumulan, penderitaan atau kesulitan yang hebat dalam hidup—bahkan kematian. Bagi Tuhan Yesus cawan itu adalah salib yang dihadapinya. Banyak orang berpikir bahwa penderitaan Tuhan Yesus bermula ketika Ia mulai memanggul salib besar itu menuju Golgota. Bukan! Itu tidaklah tepat. Tekanan yang dirasakan oleh Tuhan Yesus telah dimulai ketika Ia berada di Taman Getsemani malam itu. Ingatlah bahwa Yesus juga adalah Tuhan yang Maha Tahu, Ia tahu apa artinya salib itu sebelum ia memanggulnya. Tuhan Yesus dapat merasakan segala sakit dan penderitaan di kayu salib itu sebelum Ia harus dipaku dan dipancangkan ke tanah. Ia dapat merasakan darahNya sendiri mengalir keluar sebelum mahkota duri dan paku besar itu menembus tubuhnya. Bisakah saudara bayangkan apa yang Yesus lalui malam itu. Cawan itulah ingin Tuhan Yesus hindari. Dan Itulah yang Tuhan mintakan kepada Bapa. Yesus jujur kepada Tuhan apa yang ia inginkan. Ia mengatakannya dengan jelas, “ambillah cawan ini daripadaKu.”

Sdr, kita pun selalu memiliki kesempatan untuk mengatakan apa pun yang kita inginkan kepada Tuhan. Kita boleh mengatakan apa pun yang ingin kita katakan kepadaNya. Kita tidak perlu ragu. Allah ada di sana dan Ia mendengarkan kita. Ia memperhatikan apa yang kita katakan. Ia mendengar apa yang kita minta.

Mengapa kadang—atau mungkin malah sering—kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dari Tuhan? Salah satu sebabnya adalah karena kita tidak berdoa, tidak meminta kepada Tuhan. Mungkin sekali itu karena kita berpikir, “kalau Tuhan sayang kepada saya, seharusnya Dia tahu apa yang saya inginkan jadi saya tidak harus berdoa.” Ini adalah kesalahan umum yang banyak dilakukan orang percaya. Inilah juga mungkin alasannya mengapa kebaktian doa di banyak gereja selalu hanya dikunjungi kurang dari 15% persen jemaatnya. Gereja selalu menuntut diri untuk berkembang, tetapi bagaimana bisa bertumbuh tanpa berdoa?

Dengan meminta kepada Tuhan, kita menaruh pengharapan kita kepadaNya. Dengan berdoa, kita menggantungkan hidup kita kepadaNya. Inilah yang Tuhan inginkan—agar kita senantiasa berserah dan bergantung kepada Tuhan. Kita menginginkan sesuatu dalam dunia ini, siapa sih yang menciptakan segala keberadaan dalam dunia ini? Kepada Dialah kita seharusnya meminta dan berdoa.

Mengenal Allah sebagai Pribadi yang mendengar doa menunjukkan bahwa kita mengimani bahwa Ia adalah Allah yang peduli.

4. Mengenal Allah sebagai Pribadi yang Maha Tahu [tetapi bukanlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki]

Tuhan Yesus telah mengenal Allah sebagai Bapa yang mengasihinya, yang sanggup menolongnya dari segala kemustahilan, dan Ia telah mengatakan apa yang diinginkanNya. Kalimat yang terakhir ini merupakan penyerahan dirinya secara utuh kepada Tuhan. Berserah penuh. “Tuhan, [1] saya tahu Tuhan mengasihi saya. [2] Saya tahu Tuhan sanggup melakukan sesuatu untuk menolong saya. [3] Saya telah mengatakan apa yang saya inginkan. Sekarang, [4] Tuhan, saya menyerahkan diri kepada Tuhan secara utuh. Saya percaya Tuhan akan menolong saya seturut dengan waktu dan kehendak Tuhan.”

Dengan mengatakan kalimat terakhir ini kita memberikan seluruh kendali kehidupan kita kepada Tuhan. Kita memberikan keleluasaan kepada Tuhan untuk menolong kita. Kita tidak membatasi pekerjaan Tuhan untuk menolong k
ita. Mungkin Tuhan tidak mengerjakan seperti yang kita inginkan, tetapi Dia akan menolong kita tepat pada sasarannya—seturut dengan waktu dan kehendakNya. Dengan demikian yang perlu kita lakukan adalah menantikan Tuhan.

Mengenal Allah sebagai Pribadi yang Mahatahu menolong kita sabar menantikan waktu dan cara terbaik Tuhan untuk menolong setiap pergumulan kita.

Penutup. Dari perenungan ini, kita tahu bahwa sesungguhnya doa bukanlah sekedar berkata-kata kepada Tuhan. Doa bukanlah sekedar meminta dan mau “tahu-beres” dari Tuhan. Doa bukan soal kata-kata yang indah. Doa adalah pengenalan kita akan Allah. Doa membutuhkan pemahaman yang benar akan Allah. Bukan soal rangkaian kata-kata, tetapi soal relasi hati yang dekat dengan Tuhan. Doa bukanlah sekadar komunikasi, tetapi lebih merupakan relasi. Karena itu adalah penting bagi setiap kita untuk lebih merindukan Tuhan sebagai Pribadi, bukan sekadar menginginkan berkatNya. Amin.