Lukas 1:26-38
Sekitar sebulan yang lalu, ada sebuah kisah yang cukup mengejutkan dari California, Amerika Serikat. Di sana ada seseorang yang melihat bagaimana patung bunda maria menangis. Patung Maria itu meneteskan air mata dari lekuk pahatan matanya. Hal itu begitu cepat menyebar, dan tiba-tiba saja banyak orang berdatangan ke sekitar patung Maria itu untuk melihatnya, sebagian yang lain bahwa berdoa, bersujud, dan ada yang berusaha memegang patung tersebut untuk mengharapkan mukjizat kesembuhan dari sakit penyakit.
Sesungguhnya peristiwa patung bunda Maria menangis seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Di Manado juga pernah ada patung Maria yang dikatakan mengeluarkan air mata. Sekitar sepuluh tahun silam ada juga sebuah rumah di daerah Kramat Raya Jakarta tiba-tiba menjadi ramai dikunjungi orang banyak karena kabarnya ada patung Maria yang meneteskan air mata dalam rumah itu.
Patung Maria bukan sekali dua kali menarik perhatian media massa seperti ini. Fenomena ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari pemahaman bahwa Maria adalah tokoh pribadi yang istimewa bagi orang kristiani. Maria, Ibu Yesus, adalah pribadi yang sangat terkenal dalam dunia kekristenan. Bunda Maria dikenal sebagai pribadi yang terhitung istimewa karena ia dipanggil oleh Tuhan untuk melahirkan bayi Yesus, Anak Allah. Karena itulah orang Katolik Roma bahkan begitu meninggikan Maria sebagai Bunda Suci yang sangat dipuja.
Namun sesungguhnya jika kita membaca baik-baik firman Tuhan, kita akan menemukan jelas sekalipun Maria istimewa karena menjadi ibunda dari Yesus, ia sesungguhnya adalah wanita biasa, seperti wanita kebanyakan pada jamannya.
Maria adalah seorang wanita biasa. Sebagai pribadi, tidak ada yang istimewa dari dirinya sebelum ia menerima penampakan dan pesan dari Gabriel. Ia bahkan tidak dapat dikatakan wanita yang lebih kudus dibandingkan wanita lain yang hidup sejaman dengannya. Ada banyak orang berpikir bahwa pasti pribadi Maria ini ada “apa-apanya” sehingga Tuhan memilihnya menjadi ibu dari Anak Allah. Orang Roma Katolik menganggapnya tokoh yang kudus dan suci di hadapan Tuhan. Namun, ingatlah Roma 2:23 berkata, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Tidak terkecuali dengan Maria.
Lalu mengapa Tuhan Allah memilihnya?
Jawabnya, adalah hanya karena kasih karunia.
Semata-mata kedaulatan Allah. Tuhan Allah dapat sesuka hati memilih siapa pun yang Ia inginkan untuk menjadi ibu bagi AnakNya. Jika Maria yang dipilih, itu bukan karena kehebatan Maria. Bukan karena kualitas Maria yang berbeda dari yang lainnya. Hanya karena anugerah Tuhan semata.
Panggilan Tuhan bagi Maria merupakan panggilan yang sangat spesifik. Panggilan kasih karunia. Dalam panggilan Maria, Gabriel langsung berkata, “Hai engkau yang dikaruniai!” (Luk. 1:28). Kemudian ditegaskan sekali lagi, dalam ayat 30, “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.”
Gabriel tidak berkeliling dunia dahulu demi mencari wanita yang tepat. Dari surga, ia langsung turun mendapati Maria. Dan langsung memberitahukan kepadaNya apa yang Tuhan kehendaki untuk Maria lakukan. Dan Maria pun menerima karunia itu, ia tunduk taat dan berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (v. 38).
Maria adalah orang yang tahu diri di hadapan Tuhan. Dan karena itulah ia kemudian tunduk taat pada kehendak Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana ia bisa menjadi pribadi yang tahu diri dan taat seperti itu?
Jawabnya sangat sederhana… ia memiliki iman. Ia tidak membiarkan keraguan menguasainya. Ia tidak membiarkan keterbatasan pemahaman duniawinya menghalangi karya Tuhan.
Inilah yang membuat Maria berbeda.
Maria istimewa bukan karena kehebatannya ia dipanggil untuk menjadi bunda Yesus. Namun, ia menjadi istimewa karena ia memiliki iman percaya pada panggilan yang luar biasa “aneh” tersebut, tanpa meragukan.
Iman. Itulah yang membuat Maria berbeda. Hal ini dapat kita perhatikan dari detil kisah yang dituliskan dalam Injil Lukas ini. Perhatikanlah bahwa Maria tidak terkejut ketika Gabriel, malaikat Tuhan, menampakkan diri padanya. Yang mengejutkan Maria adalah perkataan yang didengarnya dari Gabriel (1:29). Ayat tersebut menunjukkan bahwa Maria percaya bahwa itu benar malaikat Tuhan yang datang kepadanya. Dan Maria menghadapi kehadiran tersebut dengan wajar. Apa yang mengejutkannya adalah perkataan yang didengarnya, sehingga ia pun bertanya dalam hati apakah artinya salam itu.
Catatan ini dapat memberikan kepada kita gambaran akan iman Maria. Iman yang buta. Iman yang sesungguhnya. Iman tanpa pertanyaan. Seperti Abraham, sang bapa orang beriman itu, yang berangkat pergi ke tempat yang belum pernah ia kenal tanpa bertanya meragukan Tuhan (Kej. 12).
Dalam Ibrani 11:1 tertulis definisi iman, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Percaya pada apa yang Tuhan janjikan, walaupun kita tidak dapat melihatnya. Percaya bahwa kita akan menerima jawaban doa kita, sekalipun kita belum menerimanya. Itulah iman.
Iman yang butuh melihat jawaban di depan mata, bukanlah iman. Saya pribadi mendefinisikan iman sebagai (adalah) kebutaan terhadap keterbatasan duniawi yang dicelikkan oleh ketidakterbatasan ilahi. Iman adalah buta. Atau, iman adalah seumpama rabun dekat. Orang yang beriman adalah mereka yang walaupun tidak jelas melihat apa yang ada persis di hadapan mereka, namun tetap berani melangkah karena mampu melihat dengan jelas apa yang ada di ujung jalan.
Karena itulah iman seharusnya tidak mempertanyakan. Sejak Gabriel datang membawa panggilan itu kepadanya, Maria seringkali mengalami hal-hal aneh, kejadian yang tidak biasa, peristiwa yang tidak ia mengerti… namun ia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun meragukan Tuhan. Setidaknya tiga kali dicatatkan Maria menyimpan ketidakmengertiannya dalam hati saja. Ia tidak pernah mengucapkannya keluar dari mulutnya sebagai keraguan. Ia hanya berdiam.
Lu 1:29 Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.
Lu 2:19 Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.
Lu 2:51 Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.
Yoh 19:25 Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. 26 Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” 27 Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.
Maria adalah wanita yang biasa. Ia hanya istri seorang tukang kayu. Ditinggal mati oleh Yusuf menjadi janda sebelum Yesus beranjak dewasa. Sekitar tigapuluh tiga tahun kemudian sejak ia dikunjungi Gabriel, Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, anak yang dikasihinya mati di salib. Hampir tidak ada yang dapat ia berikan bagi Tuhan, kecuali imannya. Dan itulah tepat satu-satunya yang Maria butuhkan yang membuat tetap bertahan pada jalur kehendak Allah dalam hidupnya.
Penutup
Kehidupan kita, setiap orang percaya, seringkali harus kita akui bahwa kita tidak selalu sadar kemana kita melangkah. Kita seringkali kehilangan arah tujuan karena batu-batu besar yang menjadi ujian iman kita menghalangi pandangan kita pada ujung jalan Tuha
n.
Kita menjadi terlalu banyak mempertanyakan Tuhan. Banyak mengeluh. Meragukan janji Tuhan. Dan semuanya membawa kita semakin jauh dan jauh dari kasih karunia Tuhan. Kita mudah sekali berpikir, “Jika Tuhan memang menjanjikan kehidupan yang penuh damai sejahtera, mengapa sekarang aku mengalami hidup sesulit ini? Jika benar aku adalah anak yang dikasihi Tuhan, mengapa aku harus hidup dalam kondisi seperti ini?”
Sakit penyakit. Kesulitan ekonomi. Masalah keluarga. Luka hati. Relasi yang buruk dengan orang lain. Dikhianati. Perasaan diabaikan. Perasaan tidak dikasihi. Permasalahan yang rasanya tidak ada habis-habisnya menggerogoti hidup kita. Pesimisme akan adanya perubahan yang lebih baik dalam hidup.
Semua ini begitu mudah membuat kita kehilangan iman percaya kita. Mudah membuat kita kehilangan arah pandangan pada janji Tuhan yang akan kita terima di ujung jalan.
Kita telah hampir mengakhiri tahun ini. Ada begitu banyak pengalaman yang tidak mengenakkan, bahkan mungkin ada peristiwa tidak ingin kita ingat-ingat karena sedemikian hebatnya penderitaan yang kita alami. Kita ragu akan hidup kita di tahun mendatang. Mungkinkah ada sesuatu yang baik di tahun depan? Kita bertanya-tanya.
Namun, ingatlah selalu akan janji Tuhan. Percayalah! Tuhan Yesus, ia tidak pernah jauh dari kita masing-masing. Apapun yang kita alami, seberapa hebat pun pergumulan yang kita hadapi, Tuhan Yesus ada bagi kita. Ia ada di samping kita setiap saat, dan Ia selalu ada di ujung jalan kehidupan kita demi menantikan waktu dimana Ia akan merangkul kita dalam kesempurnaan damai sejahtera.
Ingatlah keteladanan Maria dengan imannya. Sesungguhnya, tanpa iman, kita tidak memiliki modal yang lain untuk sampai pada kesempurnaan anugerah Tuhan di ujung jalan. Tanpa iman, kita tidak punya apa-apa lagi untuk membuat kita sampai pada penggenapan kemuliaan janji Tuhan. Mari kita menantikan Tuhan dalam keteduhan jiwa yang senantiasa berharap dalam iman.
Baiklah kita menjadi buta terhadap kemustahilan, tidak terpaku pada keterbatasan duniawi semata. Tetapi biarlah kita dicelikkan oleh ketidakterbatasan ilahi Kristus Yesus untuk menolong kehidupan kita. Marilah kita membangun iman kita teguh di dalam Kristus.