Damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. (Yohanes 14:27a)

Tuhan Yesus berkata dengan jelas sekali, “Apa yang kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu…” Apa yang Tuhan berikan yang tidak dapat diberikan oleh dunia?

Philip Yancey menceritakan sebuah pertanyaan Gordon McDonald dalam sebuah percakapan dengannya: Hal apakah yang dapat diberikan gereja [kekristenan] yang tidak dapat diperoleh dunia di manapun juga?

Kita tidak perlu harus menjadi seorang Kristen untuk dapat melakukan aksi soal membantu orang-orang yang kekurangan, pemulung, pengemis, atau pun anak jalanan. Tidak harus jadi orang Kristen untuk memiliki visi membangun sebuah rumah singgah untuk orang-orang membutuhkan. Tidak harus jadi orang Kristen untuk dapat berguna bagi kemajuan bangsa dan negara. Tidak harus jadi orang Kristen untuk dapat berdoa bagi banyak orang. Tidak harus jadi orang Kristen untuk dapat lebih mengasihi orang tua dan keluarga. Tidak harus beragama Kristen untuk dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Bahkan, kenyataannya, kita dapat dengan mudah menemukan ada yang banyak orang di dalam dunia ini yang lebih saleh, baik, dan dermawan daripada orang Kristen.

Ada banyak guru, agama, dan tradisi-tradisi yang dapat memberikan ajaran moral yang baik. Jadi, tidak harus menjadi Kristen untuk menjadi orang yang baik.

Lalu… hal apakah yang dapat diberikan oleh kekristenan yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia?

Grace. Kasih karunia. Penerimaan tanpa syarat. Yang memerdekakan kita. Yang membawa damai sejahtera.

Kemanakah lagi dunia akan dapat menemukan kasih karunia selain dari kekristenan?

Kita tidak hidup dalam dunia yang dipenuhi anugerah. Di dunia ini, kita mendapatkan yang kita bayar. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk memperoleh apa pun. Kita tentu sering mendengar seseorang mengeluh, “Hhhhh… jaman sekarang, kencing pun harus bayar!” Benarlah, ironi ini! Kemana pun kita melangkah dalam dunia ini hampir tidak ada lagi yang gratis.

Beberapa waktu yang lalu, waktu saya terkena alergi asap dan batuk-batuk terus tanpa berhenti, seorang anak pemuda yang baik hati menawarkan untuk membelikan saya setabung oksigen murni. Hah?! Saya sampai sempat terkesima. Berapa harganya sebuah tabung kecil? Penasaran saya bertanya. Sekitar 30-ribuan, jawabnya waktu itu. Luar “binasa”! Untuk untuk bernafas dengan sehat pun harus membayar.

Namun, Tuhan Yesus berkata, “Apa yang kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu…” Tuhan Yesus telah menyiapkan kasih karunia untuk kita nikmati. Untuk dunia nikmati. Yang tidak akan kau temukan ditempat lain, dan semuanya cuma-cuma. Inilah yang dunia butukan. Inilah mengapa kita membutuhkan natal.

Dunia, dan kita, membutuhkan kasih karunia.

Ilustrasi. Sebuah cerita karya Ernest Hemingway menyingkapkan kebenaran ini. Seorang ayah Spanyol memutuskan berdamai dengan putranya yang lari ke Madrid. Dengan penuh rasa sesal, sang ayah memasang iklan di surat kabar El Liberal, “Paco temui papa di Hotel Montana hari Selasa tengah hari. Semua sudah dimaafkan. Papa.”

Untuk kita ketahui, Paco adalah nama yang sangat umum di Spanyol. Mungkin serupa dengan nama Budi di Indonesia. Di gereja kita saja setidaknya ada tiga rekan bernama Budi. Nah, ketika sang ayah yang sangat merindukan putranya itu datang ke halaman hotel Selasa siang yang dinanti-nanti itu, ia tidak pernah menduga apa yang akan ditemuinya…. sekitar delapan ratus pemuda bernama Paco menunggu ayah mereka. 800 Paco juga ternyata juga sangat membutuhkan pengampunan ayah mereka.

Bayangkan bagaimana masing-masing Paco itu suatu hari membuka surat kabar dan membaca kalimat itu, “Paco… semua sudah dimaafkan. Papa.” Betapa hati mereka terguncang dipenuhi dengan pengharapan yang besar bahwa iklan itu benar ditujukan bagi mereka. Betapa mereka mengharapkan bahwa papa merekalah yang menulis iklan itu. Betapa hati mereka merindukan pengampunan, penerimaan kembali. Betapa dunia membutuhkan anugerah.

Bayangkan pula betapa kagetnya masing-masing Paco ini menemukan 800 Paco lain yang menanti di tempat yang sama siang itu. Betapa mata mereka terus mencari berkeliling mencari ayah yang mereka rindukan. Dan betapa sakitnya mengetahui bahwa hanya satu Paco yang beroleh anugerah itu, sementara—katakan saja—799 Paco lain harus pulang dengan kekecewaan yang mendalam dan terus mengharapkan pengampunan.

O betapa dunia, betapa kita, membutuhkan kasih karunia. Anugerah.

Coba tanyakan kepada diri kita masing-masing, kapan terakhir kalinya anda sengaja atau tidak sengaja melukai hati seseorang dengan perkataan anda, namun… orang yang kita lukai tersebut berkata dengan senyum yang tulus, “Kamu memang telah melukai hatiku, tapi aku memberikanmu anugerah. Aku mengampunimu.”

Kapan terakhir kali anda membuat jengkel suami atau istri anda, namun… pasanganmu hanya berkata, “Tidak perlu merasa bersalah, aku mengasihimu seberapapun engkau membuatku merasa tidak nyaman. Yuk kita pergi makan ke restoran favoritmu.”

Kapan terakhir kali engkau terlambat masuk sekolah 30 menit dan guru di kelasmu yang sedang mengajar berkata dengan senyum, “Selamat! Hari ini engkau mendapat anugerah. Tidak ada hukuman bagi keterlambatanmu. Silahkan duduk.”

Dan kapan terakhir kali, seseorang melukai hatimu dengan sikap atau perkataan dan anda segera menemui dia untuk mengatakan, “Engkau membuatku tersinggung dan marah beberapa saat lalu, tapi… aku pikir akan baik sekali kalau kita segera dapat berteman kembali. Aku mengampunimu.”

O bayangkan betapa indahnya seandainya sungguh hal-hal seperti terjadi. Namun, betapa sayangnya kenyataan menunjukkan bahwa anugerah seperti itu justru menjadi semacam ironi yang bodoh di tengah dunia kita. Seakan selalu ada si jahat yang berbisik di telinga kita, “Ia telah melukai dirimu. Harga dirimu dirobek-robek. Engkau dihina. Engkau telah diperlakukan jahat. Tunggulah kesempatan untuk membalasnya.”

Dunia seperti inilah dimana kita berada saat ini. Dunia yang tidak mengenal kasih karunia atau anugerah. Dunia yang justru selalu berpikir untuk reaktif membalas.

Hemingway sangat tahu tentang dunia tanpa kasih karunia. Orangtuanya sangat taat beragama. Kakek dan neneknya kuliah di Wheaton College yang sangat rohani. Karena itulah mereka membenci pergaulan bebas Hemingway. Kehidupan seperti itu dianggap hina dan penuh dosa oleh keluarganya sendiri. Yang lebih pahit, adalah kenyataan bahwa tidak lama berselang, ibunya pun tidak mau lagi bertemu dengannya.

Ketika suatu kali Hemingway berulang tahun, ibunya mengirimkan kue… bersama dengan sepucuk pistol yang digunakan ayahnya untuk bunuh diri. Pada ulang tahunnya yang lain, ibunya menulis surat yang menggambarkan kehidupan seorang ibu seumpama bank, “Setiap anak yang lahir dari ibunya memasuki dunia dengan rekening besar dan berlimpah di bank (ibunya), yang tampaknya tidak pernah habis.” Anak itu terus menarik uang tetapi tidak pernah memasukkan uang pada tahun-tahun pertamanya. Belakangan, setelah anak itu dewasa, adalah menjadi tanggung jawab si anak untuk mengisi kembali tabungan yang ia tarik. Ibunda Hemingway jelas memintanya untuk membayar semua jerih lelah dan uang yang telah dihabiskan untuk membesarkannya. Bahkan sang ibu melanjutkan pressure-nya dan mengharuskan Hemingway juga berusaha untuk membayar keselamatan yang telah Kristus berikan sebagai Juruselamatnya. “Jika engkau percaya Yesus, engkau tidak boleh mengabaikan tugasmu pada Allah dan Juruselamatmu.” Tidak heran, jika Hemingway tidak pernah bisa menghapuskan kebenciannya pada ibunya dan pada Juruselamatnya. Ia tidak pernah merasakan anugerah. Ia harus membayar untuk segala sesuatu yang telah ia terima. Tidak seorang pun yang cukup tulus untuk menolongnya tanpa pamrih.

Inilah dunia tanpa kasih karunia. Inilah alasan mengapa dunia membutuhkan natal?

Karena anugerah atau kasih karunia bermula dalam sejarah dengan kelahiran bayi Natal.

Ilustrasi. Tony Campolo merayakan ulang tahun seorang pelacur bernama Agnes di bar di Hawai pada pkl. 03.30 pagi. Harry, si pemilik bar, akhirnya bertanya, “Hei, kamu tidak pernah memberitahuku bahwa kamu seorang pendeta. Dari gereja macam apa kamu berasal?” “Aku berasal dari sebuah gereja yang mengadakan pesta ulang tahun bagi para pelacur pada jam 03.30 di pagi hari,” jawab Pdt. Tony Campolo.

“Tidak, kamu tidak berasal dari gereja seperti itu. Mana ada gereja seperti itu? Tidak ada! Jika benar ada, aku mau bergabung!” [Love Beyond Reason, p. 213]

Tidakkah kita semua menginginkannya? Tidakkah kita semua bergabung dengan sebuah gereja yang menerima kita apa adanya dalam kondisi seperti apapun? Tidakkah dunia membutuhkan penerimaan tanpa syarat seperti ini? Bukankah untuk orang-orang seperti itulah Bayi Natal lahir ke dalam dunia ini? Tidakkah kita semua menginginkan gereja seperti ini? Dan betapa kita sangat merindukannya karena begitu sulitnya menemukan gereja, anak Tuhan atau kekristenan yang semacam itu.

Yang jelas, gereja seperti itulah yang Tuhan Yesus dirikan. Siapa saja yang membaca Perjanjian Baru tahu bahwa Tuhan Yesus senang melimpahkan anugerah kepada mereka yang terabaikan, yang berdosa, yang dibuang, yang dijauhkan dari masyarakat. Tuhan senang melimpahkan anugerahNya kepada mereka yang bagi dunia telah dianggap hina dan kotor. Dan sebaliknya, orang-orang berdosa sangat senang walaupun hanya sekadar dekat denganNya. Karena mereka merasa diterima, disayang, diperhatikan walaupun menurut hitungan dunia mereka tidak layak mendapatkan perhatian itu. Orang berdosa berbahagia karena Yesus mau duduk makan semeja dengan mereka.

Demikianlah seharusnya kekristenan. Seperti itulah seharusnya gereja. Gereja bukanlah kumpulan orang-orang kudus. Sejatinya, gereja adalah kumpulan orang-orang berdosa yang bobrok. Dan siapa yang lebih tahu akan hal ini selain masing-masing diri kita sendiri? Seberapapun rohani dan hebatnya pelayanan yang kita kerjakan, kita tahu beban dosa yang masih masing-masing kita lakukan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Kita tidak mungkin dapat berani menjawab pertanyan, apa baik dan hebatnya diri saya di hadapan Allah yang Mahatahu?

Ya, begitulah gereja. Begitulah anak-anak Allah. Setiap kita yang duduk di sini adalah orang-orang berdosa. Kita bukan orang kudus sejati. Namun… puji Tuhan, kabar baiknya adalah bahwa kita adalah orang-orang berdosa yang telah menerima anugerah. Kasih karunia. Sederhananya, kita adalah orang berdosa yang beruntung.

Seperti seorang pekerja yang kerjanya malas-malasan, suka tidur di kantor, sesekali mencari keuntungan dari perusahaan, suka bikin gosip yang bikin pusing, kalau dimarahin malah bisa bales marah, tapi tiba-tiba eh… akhir bulan, terima gaji 500 juta dari bos besar. Sangat tidak masuk akal. Dan jelas tidak pernah terjadi di dunia.

Namun… peristiwa itu telah terjadi di antara dunia dan surga ketika bayi Yesus lahir. Kelahiran Bayi Natal menjadi jalan bagi kita orang-orang yang berdosa untuk mengenal dan hidup dalam anugerah. Momen natal menjadi pengingatan bagi kita betapa luar biasanya kasih Allah bagi kita masing-masing.

Kita yang disebagai anak-anak Allah, seringkali masih sesekali bersinggungan dengan jalan yang mendukakan hati Tuhan. Kita sebagai anak-anak terang, seringkali masih hidup tidak bedanya dengan anak-anak kegelapan. Kita malas ke gereja, malas pelayanan, tidak punya hati untuk memberi, pelayanan setengah hati, namun… toh natal tetap terjadi. Kasih Allah tetap untuk kita.

Kasih karunia berhubungan sangat erat dengan kecacatan dunia karena dosa. Dosa, rasa bersalah, pengampunan dan kebutuhan akan kasih tanpa syaratlah yang paling dekat dengan kasih karunia.

Mengapa dunia membutuhkan natal? Mengapa kita membutuhkan natal?

Kita membutuhkan natal

… untuk menjadi penyembuh bagi segala luka dan kehancuran hati dunia

… untuk mengobati segala kekecewaan kita atas pengharapan palsu yang dunia tawarkan

… untuk melumasi sendi kegerakan semangat kehidupan yang telah kering

… untuk memberikan damai sejahtera sejati

… untuk memulihkan segala luka batin kita

sebab hanya “natal” yang memberikan kepada kita segala jawaban atas pertanyaan kita akan kehidupan dan kematian.

Kita membutuhkan kehangatan bayi natal untuk menyentuh kembali jiwa kita yang kepahitan. Kita membutuhkan kasih yang bayi Yesus tawarkan untuk menjamah hidup kita yang porak poranda. Dan kita membutuhkan kasih karunia sebagai tempat dimana kita dapat membuang semua kebobrokan diri kita.

Hanya dengan cara inilah, natal menjadi natal yang berarti dalam hidup pribadi kita. Dengan cara inilah, natal menjadi berarti bagi dunia.